TAHUN-TAHUN KEHENINGAN

TAHUN-TAHUN KEHENINGAN

Bagi orang luar, hidupku mungkin terlihat cukup hebat. Aku memiliki apa yang terlihat seperti keluarga yang menyayangiku. Aku tinggal di rumah besar di lingkungan yang nyaman dan aku belajar di sekolah yang bermutu. Tapi, yang tidak bisa dilihat orang luar adalah suasana dingin yang menyelimuti rumahku. Pertengkaranku dengan orang tua yang tak pernah berakhir melibatkan lontaran kata-kata yang menyakitkan, tatapan pahit, dan kadang, keheningan yang tak tertahankan. Salah paham akhirnya menimbulkan adu mulut.

Pertengkaran kali ini bermula seperti yang lain. Aku mengemasi tasku, bersiap-siap pergi ke Mapensi satu malam untuk kelas konfirmasi. Dengan hati-hati aku memilih beberapa baju yang mungkin akan kupakai, berulang kali membuka dan melipatnya, melakukan segala cara untuk menunda, menghindari setiap kemungkinan bertengkar. Aku mengendap-endap menuruni tangga, menuju dapur, dan disana menemukan orang tuaku sudah menunggu dengan tatapan tajam.

“Besok kau harus dijemput jam berapa?” tanya ibuku tak sabar dengan lengan terlipat di dada.

Kukatakan aku tidak yakin, tapi menurutku sekitar pukul delapan malam. Aku langsung tahu jawabanku tidak sesuai dengan harapannya.

“Jadi kau tahu jam berapa?” wajahnya berkerut tak setuju.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak meledak dan melepaskan bertahun-tahun perasaan tertekan yang berisi kemarahan, kebencian, dan kesedihan. Semua perasaan ini terperangkap dalam tubuhku yang sedang kacau. Setiap kali bertengkar, biasanya karena kesalahpahaman sepele yang tak berarti, kami tampaknya semakin banyak mengungkapkan perasaan masing-masing. Perselisihan kami bukan hanya tentang topik pertengkaran itu saja, tapi juga melibatkan emosi tak terungkap yang menyelimuti delapan belas tahun kehidupanku. Aku dan orang tuaku punya banyak masalah, dan tidak tahu cara mengungkapkannya.

“Kau selalu menghilang dan tak pernah memberitahukan kemana kau akan pergi atau kapan kau akan pulang!” teriak ibuku, meneruskan perdebatan kami dan melemparkan sebanyak mungkin kesalahan padaku.

Aku pura-pura tidak mengerti apa yang sedang dikatakannya dan meninggalkan rumah dalam keadaan bersitegang dengan orang tuaku, membuat muram suasana Mapensi. Malam itu aku tidak mau berpartisipasi atau melibatkan diri dalam kegiatan apa pun. Aku duduk sendirian, tenggelam dalam rasa mengasihani diri. Setiap kali seseorang menanyakan ada apa, aku menolah untuk memberikan jawaban.

Keesokan paginya, instrukturku menghampiri dan bertanya apakah aku sudah menerima suratku.

“Surat apa?” aku bertanya-tanya, kebingungan. Seorang ketua lain di Mapensi itu menyodorkan sebuah amplop bertuliskan namaku dalam tulisan tangan ibuku. Aku terpaku menatap surat itu dengan mata bingung, dan berjalan memasuki ruang konferensi untuk membukanya tanpa dilihat orang lain.

“Buatlah pelangi denganpenuh keyakinan pada dirimu sendiri. Banyak hal indah yang akan terjadi dalam hidupmu. Sinarmu menerangi hidup kami.” Ketika membaca ungkapan itu, aku mencoba menahan air mata yang merebak di mataku. Aku gagal, dan air mata mengalir membasahi pipiku. Ketika aku berjalan ke arah kotak tisu di ujung lain ruangan, tiga orang teman yang mendukungku memelukku. Tapi karena ingin sendirian dan menyelesaikan membaca surat itu, aku melepaskan diri dari pelukan mereka dan bergegas ke arah pintu keluar. Aku duduk di kamarku, mencoba menenangkan pikiran dan emosiku. Lalu instrukturku mengetuk pintu dan menjelaskan bahwa ia telah meminta orang tua semua murid untuk menulis surat bagi anak mereka sebelum kami berangkat Mapensi.

Setelah membaca ulang beberapa kalimat pembukanya, aku meneruskan membaca isi surat itu. Ibu dan ayahku menulis bahwa mereka mencintaiku, meski dari luar tidak selalu terlihat begitu, dan bahwa mereka memerlukanku dalam hidup mereka. Kejujuran mereka membuatku memikirkan hubungan kami, dan aku mulai meyadari peran yang aku mainkan dalam membangkikan pertengkaran dan kurangnya komunikasi di antara kami. Dalam kenyataan, semua ikut ambil bagian. Dan sekarang sudah waktunya kami semua berusaha membina hubungan yang lebih baik.

Keluargaku sudah lebih tenang ketika aku pulang dari Mapensi. Dan kami mempunyai rasa saling menghormati yang baru tumbuh. Kadang kami masih berselisih pendapat, tapi tidak separah dulu.tak ada lagi tatapan dingin atau perang kata yang menyakitkan. Meski aku dan orang tuaku tidak bisa mengubah masa lalu dan delapan belas tahun yang terbuang percuma untuk pertengkaran yang tak ada habisnya. Setiap hari kami pelan-pelan belajar cara berkomunikasi sebagai keluarga, memastikan bahwa tidak ada lagi delapan belas tahun yang terbuang sia-sia.

Tinggalkan komentar